
JAKARTA, AsahKreasi- Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menyampaikan penyebab utama banjir yang terjadi di beberapa daerah Bali.
"Banyak sekali masalah yang ada," ujar Dody saat diwawancarai setelah Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (15/09/2025).
Penyebab banjir dimulai dari kerusakan di hulu sungai, hingga sungai yang sempit dan lebih dangkal akibat penumpukan sedimen.
Oleh karena itu, Dody menyatakan akan membahas isu tersebut dan mencari jalan keluar bersama Gubernur Bali I Wayan Koster.
"Saya akan mendiskusikannya dengan Pak Koster, mungkin dalam beberapa minggu ke depan," katanya.
Sebagai informasi, Bali dilanda banjir besar pada Rabu (10/09/2025). Akibatnya, belasan orang kehilangan nyawa.
Perencanaan tata kota Bali menjadi perhatian setelah terjadi banjir besar yang menimpa beberapa daerah pada awal bulan September 2025.
Ahli Perencanaan Kota Yayat Supriatna menganggap, isu ini tidak dapat dipisahkan dari konflik kepentingan antara ruang bagi manusia dan ruang bagi air.
"Sebenarnya ada konflik yang disebut konflik antara tata ruang air dan tata ruang manusia. Nah, tata ruang untuk manusia ini memang sudah terlalu berlebihan," ujar Yayat kepadaAsahKreasi, Jumat (12/9/2025).
Menurutnya, pengembangan besar-besaran perumahan, hotel, dan kawasan perdagangan menyebabkan ruang terbuka hijau semakin berkurang.
Meskipun sejak lama Bali terkenal dengan aturan tata ruang yang ketat dan berlandaskan adat serta agama, namun dengan semakin meningkatnya investasi, aturan tersebut mulai berubah.
Krisis Resapan Air
Yayat menganggap, masalah utama tata kota Bali saat ini adalah berkurangnya area penyerapan air. Hal ini menyebabkan air hujan tidak dapat disimpan dengan baik, sehingga meluap ke permukaan jalan.
"Desain kota tersebut satu, mulai menghilangkan kemampuan resapan. Ruang terbuka hijau berkurang, lahan persawahan dan kebun juga berkurang. Akhirnya, kita menghadapi krisis resapan air," katanya.
Ia menambahkan, kemampuan sistem drainase yang tidak memadai semakin memperburuk situasi. Hujan dengan intensitas tinggi, di mana puncaknya dulu mungkin terjadi dalam siklus 50 atau 100 tahun, kini telah muncul.
Namun, sistem infrastruktur kota di Bali belum mampu menghadapi pola curah hujan yang ekstrem.
"Jika kemarin kita mengetahui hujan ekstrem cukup besar dan deras, sementara saluran drainase masih lama atau ukurannya kecil, tidak terawat, menyempit, serta banyak pembangunan perumahan baru yang tidak memperhatikan aspek drainase," kata Yayat.
Ia memberikan contoh, di Jakarta ukuran saluran air telah diperluas hingga dua meter guna mengurangi kemungkinan banjir. Di sisi lain, sistem drainase pusat kota Bali masih relatif sama. Akibatnya, saat hujan deras, jalan utama berubah menjadi aliran sungai yang tiba-tiba.
Perlu Evaluasi Tata Ruang
Yayat menekankan pentingnya pemeriksaan menyeluruh terhadap tata ruang di Bali. Menurutnya, pemerintah perlu meninjau kembali keseimbangan antara tata ruang perkotaan dan tata ruang air.
Jika area-area penyerapan air terus berkurang, kejadian banjir yang besar akan semakin sering terjadi.
"Ruang air itu maksudnya contohnya ada kolam-kolam penampungan yang hilang, ada waduk atau danau yang hilang, ada penyerapan yang hilang," katanya.
Di sisi lain, aturan tradisional di Bali yang melarang pembangunan bangunan bertingkat tinggi juga menjadi kendala khusus.
Kondisi ini menyebabkan sebagian besar pembangunan dilakukan dalam bentuk rumah terpisah atau rumah tapak. Akibatnya, lahan kosong semakin berkurang dan kemampuan ruang untuk menampung air berkurang.
"Apalagi Bali tidak mampu membangun bangunan bertingkat karena adat tidak mengizinkannya. Jadi efisiensi penggunaan lahan menjadi terbatas semua. Jika terbatas, artinya kapasitas daya tampung ruangnya akan terus menurun karena digunakan untuk itu," kata Yayat.
Solusi Jangka Pendek
Meskipun perbaikan tata ruang membutuhkan waktu yang lama, Yayat menekankan perlunya tindakan cepat guna mengurangi dampak banjir.
Menurutnya, pemerintah perlu segera memperbaiki permukiman serta fasilitas umum yang rusak akibat bencana.
"Solusi jangka pendek pertama, segera bantu dalam proses rehabilitasi, memperbaiki permukiman yang rusak dan hancur, serta pemulihan. Kedua, perbaiki infrastruktur yang rusak, khususnya yang berkaitan dengan transportasi dan mobilitas," ujar Yayat.
Selain itu, ia menilai pentingnya partisipasi masyarakat dan sektor swasta dalam meningkatkan kondisi lingkungan.
Semangat kerja sama sangat penting dalam membersihkan sampah, memperbaiki saluran yang tersumbat, hingga membangun kembali fasilitas yang rusak.
"Menurut saya ada rasa gotong royong. Bagi para pelaku usaha, siapa saja yang memiliki dana atau sumber daya, untuk berbagi. Berbagi dalam membangun infrastruktur, serta memperbaiki yang rusak," katanya.
Yayat menekankan bahwa mencari siapa yang bersalah bukanlah hal utama saat ini. Yang lebih penting adalah memperbaiki tata kota serta memperkuat infrastruktur agar Bali lebih siap menghadapi curah hujan ekstrem berikutnya.